Bangsa yang Malas Membaca, Siap-siap Menjadi Penonton di Negeri Sendiri

Di tengah gemerlap teknologi dan derasnya arus media sosial, bangsa ini sedang berjalan di tepi jurang: jurang kebodohan yang dibungkus kemewahan digital. Ironisnya, jutaan orang rela menghabiskan berjam-jam untuk menggulir layar ponsel, tapi merasa berat untuk membaca buku meski hanya 15 menit.
Data UNESCO pernah menampar kita: minat baca masyarakat Indonesia berada di peringkat bawah dunia. Ini bukan sekadar statistik memalukan—ini alarm bahaya. Sebab, bangsa yang malas membaca akan mudah diarahkan, gampang diprovokasi, dan kehilangan daya kritis.
Mari kita jujur. Mengapa hoaks dan ujaran kebencian mudah menyebar di negeri ini? Jawabannya sederhana: banyak orang menelan informasi mentah tanpa mau memverifikasi, apalagi memahaminya secara mendalam. Padahal, buku—dengan proses riset, penyuntingan, dan verifikasi yang ketat—menawarkan kualitas informasi yang tak bisa disaingi oleh potongan berita viral atau caption Instagram.
Membaca buku bukan sekadar hobi, tetapi investasi peradaban. Jepang, Korea Selatan, bahkan negara tetangga seperti Singapura, menempatkan literasi sebagai pilar kemajuan. Mereka sadar, teknologi tanpa budaya baca hanya akan mencetak generasi konsumen, bukan pencipta.
Jika kita terus malas membaca, jangan kaget suatu hari nanti kita hanya menjadi penonton di negeri sendiri—menyaksikan bangsa lain mengelola sumber daya kita, memimpin pasar kita, bahkan menulis sejarah kita.
Maka, pilihannya hanya dua: mulai membaca hari ini atau bersiap menjadi bagian dari sejarah bangsa yang tertinggal. Pilihannya ada di tangan kita, tapi ingat—waktu kita tidak banyak.