Literasi Masyarakat di Era Digital: Dari Budaya Baca ke Budaya Pikir

Literasi Masyarakat di Era Digital: Dari Budaya Baca ke Budaya Pikir

Di tengah derasnya arus informasi yang mengalir tanpa henti, kemampuan literasi masyarakat menjadi semakin penting. Literasi hari ini bukan lagi sebatas kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan memahami, menelaah, dan memanfaatkan informasi dengan bijak. Tantangan terbesar masyarakat modern bukan lagi kekurangan informasi, melainkan banjir informasi yang tidak semuanya benar.

Melek Huruf Belum Tentu Melek Literasi

Indonesia telah lama bebas dari buta huruf, namun belum sepenuhnya bebas dari buta literasi. Banyak orang bisa membaca, tetapi tidak memahami makna dari yang dibaca. Fenomena ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari—mulai dari penyebaran hoaks, kesalahpahaman terhadap berita, hingga rendahnya kebiasaan membaca buku dan referensi ilmiah.

Padahal, literasi adalah fondasi berpikir kritis. Tanpa literasi, masyarakat mudah dipengaruhi opini tanpa dasar, mudah percaya pada informasi viral, dan sulit membedakan fakta dari manipulasi.

Budaya Baca yang Kian Terpinggirkan

Kehadiran teknologi digital membawa kemudahan luar biasa, tetapi juga tantangan besar. Generasi muda kini lebih akrab dengan layar ponsel daripada halaman buku. Bacaan pendek seperti caption media sosial lebih menarik daripada paragraf panjang yang mengajak berpikir mendalam.

Budaya baca yang dulunya menjadi ciri masyarakat cerdas perlahan tergeser oleh budaya instan—mencari jawaban cepat tanpa proses berpikir. Padahal, membaca buku adalah proses membangun kesabaran, kedalaman berpikir, dan daya analisis.

Gerakan Literasi sebagai Harapan

Meski demikian, harapan tidak hilang. Di berbagai daerah muncul gerakan literasi masyarakat—mulai dari taman baca, komunitas baca, hingga relawan literasi yang bergerak dari desa ke desa. Mereka menghidupkan kembali semangat membaca dengan cara sederhana: mengajak, membacakan, dan mendampingi.

Inisiatif seperti Relawan Literasi Masyarakat (RELIMA), misalnya, menunjukkan bahwa literasi bukan sekadar kegiatan akademis, tetapi gerakan sosial. Literasi menjadi alat pemberdayaan—membuka wawasan, menumbuhkan kepercayaan diri, dan mendorong masyarakat untuk berpikir kritis terhadap realitas di sekitarnya.

Peran Pemerintah dan Keluarga

Membangun literasi tidak bisa hanya dibebankan pada sekolah atau lembaga tertentu. Pemerintah perlu menyediakan akses yang merata terhadap bahan bacaan bermutu—baik dalam bentuk cetak maupun digital. Namun yang tak kalah penting adalah peran keluarga. Di rumah, orang tua menjadi teladan pertama. Anak-anak yang melihat orang tuanya membaca, akan tumbuh dengan kebiasaan yang sama.

Menumbuhkan Budaya Pikir

Literasi sejatinya bukan tujuan akhir, melainkan jalan menuju masyarakat berpikir. Masyarakat yang literat bukan sekadar pandai membaca, tetapi juga mampu menimbang, menilai, dan mencipta. Di era yang penuh distraksi ini, literasi menjadi pelita agar kita tidak tersesat dalam gelapnya informasi palsu.

Membangun budaya literasi memang butuh waktu, tapi setiap langkah kecil berarti—membaca satu buku, menulis satu paragraf, atau sekadar berdiskusi dengan pikiran terbuka. Karena bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang banyak membaca, tetapi bangsa yang mampu berpikir dari apa yang dibacanya.